The Story Begins

1466337829838

The Story Begins

story by Rosé Blanche

Kim Mingyu (Seventeen), Himekawa Yui (OC) & Others

Fluff, Romance, Slice of Life

G

Vignette

“Senang berkenalan denganmu, Yui.”

-oOo-

Satu bulan.

Sudah satu bulan tepatnya aku tinggal di perumahan ini, namun entah kenapa aku masih belum kerasan juga. Keluargaku pindah ke Seoul karena berbagai alasan. Yang jelas, rumah lama kami sudah terlalu tua—banyak tembok yang retak dan akan bocor di sana-sini apabila hujan turun.

Yang kedua, ayahku dipindahtugaskan untuk bekerja di Seoul. Pada tahun ini juga, aku akan memasuki kuliah, dan jauh sebelum ayahku memutuskan untuk pindah ke Seoul, aku telah diterima di Seoul University.

Kebanyakan orang mungkin mengira ini adalah kebetulan. Namun, aku tidak. Aku tidak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan. Aku selalu merasa yakin, bahwa Tuhan memang mempunyai rencana tertentu di balik semua ini.

Masih ada kurang lebih dua minggu lagi sebelum hari pertamaku memasuki kuliah. Meskipun beberapa tempat sudah tidak asing bagiku, namun kenalanku masih sedikit. Ibu menyarankanku untuk berkenalan dengan tetangga-tetangga sebelah, namun mereka semua tidak ada yang seumuran denganku.

Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu yang berumur sekitar tiga puluh atau empat puluh tahunan, yang setiap sebulan sekali rutin mengadakan acara arisan. Oh, aku harap ibuku tidak ikut-ikutan setelah ini.

Baiklah, di rumah seberang memang ada Yoon Jeonghan yang tinggal berdua dengan adiknya, Yoon Eunsoo. Kami pernah mengobrol sesekali. Kuakui ia cukup ramah, dan ia hanya lebih tua dua tahun dariku.

Tapi, ia terlalu sibuk bekerja untuk membiayai adiknya itu bersekolah, sementara Eunsoo sendiri masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Oh, satu lagi.

Ada satu gadis yang menarik perhatianku. Satu hari setelah aku pindah, aku bertemu dengannya untuk yang pertama kali.

Mungkin bukan bertemu, hanya saja aku tidak sengaja melihatnya dari kejauhan, dan entah kenapa mataku terasa seperti terpaku ke gadis itu. Namun ia tidak sadar ketika aku sedang menatapinya.

Gadis itu duduk di ayunan sendirian, sambil membaca sebuah buku tebal. Atau mungkin, ia tidak sedang membaca, karena meskipun kedua matanya tertuju pada buku yang dipegangnya, pandangan gadis itu terlihat kosong.

Cantik.

Itulah yang ada di pikiranku saat pertama kali melihatnya. Rambutnya yang pirang kecoklatan dikepang sepenuhnya ke belakang, menampakkan garis rahangnya yang tegas dan juga tindikan di telinganya. Tidak hanya satu, namun empat tindikan. Jika dilihat dari wajahnya, kurasa ia seumuran denganku.

Setelah itu, setiap kali aku ke taman, aku selalu melihatnya. Aku tidak tahu apakah ia berkunjung ke taman setiap hari atau tidak, namun tiap kali aku melihatnya, ia selalu saja sendirian.

Kadang, timbul pikiran di kepalaku untuk mengajaknya berkenalan, namun entah kenapa aku tidak melakukannya sampai sekarang. Mungkin karena aku takut untuk memulai?

Seperti sekarang ini contohnya.

Gadis itu sedang duduk di atas jembatan yang melintasi kolam taman. Jembatan kayu itu cukup tinggi, namun tidak ada pembatas di kedua sisinya, sehingga gadis itu bisa duduk di tepinya sambil menggelantungkan kedua kaki.

Itu agak mengerikan, mengingat beberapa hari yang lalu aku sempat hampir terpeleset di sana.

“Mingyu?”

Aku menoleh, dan langsung kudapati Jeonghan yang sedang berdiri menatapku.

“Ah, ternyata memang Mingyu,” ujarnya sambil tersenyum lebar, menampakkan sederet giginya yang putih dan rapi. Aku tersenyum balik ke arahnya dan ia segera duduk tepat di sebelahku.

“Kau sedang apa di sini?” tanyanya lagi.

“Bosan saja di rumah. Hyung sendiri? Tidak kerja?”

Laki-laki itu menatapku bingung sesaat, namun kemudian ia tertawa. “Ya ampun, ini hari Minggu, kan?”

Oh.

Well, kurasa inilah salah satu efek buruk dari terlalu banyak libur. Membuatku jadi lupa hari dan tanggal. Akhirnya aku hanya ikut tertawa kecil bersamanya. “Maaf, aku lupa.”

Setelah itu hanyalah keheningan yang ada di antara kami. Aku kembali fokus pada gadis itu, yang masih tidak berkutik dari posisinya sedari tadi.

“Kau tertarik dengannya?”

Aku hanya menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan tatapanku pada gadis itu.

“Kau mengenalnya, Hyung?”

Ia menggeleng. “Tidak, sama sekali tidak. Tapi kata Eunsoo, gadis itu juga masih baru di sini, dan ia bukan orang Korea asli. Cantik, ya?”

“Hentikan. Ingatlah dengan Chaeyeon-nuna, Hyung. Kau baru melamarnya dua minggu yang lalu.”

Kami berdua tertawa, dan dalam kurun waktu yang sedikit ini rasa bosanku menguap begitu saja—karena ada Jeonghan tentunya.

“Tunggu dulu. Eunsoo?” Aku kembali mengingat-ingat kata-katanya tadi. “Memangnya anak itu tahu darimana?”

“Oh, jangan tanya aku. Dan jangan heran juga ia tahu darimana. Ia stalker yang hebat, kau tahu? Kurasa ia lebih baik jadi detektif saja nanti kalau sudah besar.”

Aku tersenyum geli mendengarnya, dan aku sudah membuka mulutku ingin membalas kata-kata Jeonghan—ketika tiba-tiba saja aku mendengar suara teriakan. Sumbernya berasal dari arah kolam.

Oh, astaga.

Ternyata gadis itu yang berteriak, dan ia sudah tidak berada di atas jembatan lagi—namun di dalam kolam. Tercebur rupanya.

Nah, apa tadi kubilang?

Ia berteriak-teriak minta tolong, dan saat itu juga aku tersadar bahwa ia tidak bisa berenang, karena ia terus meronta-ronta, berusaha agar tidak tenggelam.

Aku menoleh ke arah Jeonghan yang juga sama terkejutnya denganku, namun matanya menyiratkan pandangan bingung. Atau heran?

Oh, entahlah, yang jelas ia tidak melakukan pergerakan sama sekali, dan aku tidak punya pilihan lain.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera berlari ke arah kolam, dan tanpa melepas pakaian dan sepatuku, aku langsung saja menceburkan diri untuk menyelamatkan gadis itu.

Ya! Mingyu, kolamnya itu …”

Laki-laki bersurai panjang itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena aku sudah terlanjur melompat masuk ke dalam kolam, dan berusaha meraih gadis itu.

Tapi, tunggu dulu.

Aku merasa kakiku menyentuh sesuatu, dan yang terjadi selanjutnya membuat mataku terbelalak saking kagetnya.

Aku menatap ke bawah, dan …

Yang benar saja, tinggi kolam ini bahkan hanya mencapai perutku!

“… pendek.”

Jeonghan melanjutkan kata-katanya yang sempat terhenti tadi dengan suara pelannya, kemudian ia mendengus pasrah. Ia sampai menunduk dan memegangi jidatnya dengan satu tangan.

Aku hanya menatapnya dengan pandangan kenapa-kau-tidak-bilang-dari-tadi, meskipun aku yakin ia tidak bisa melihatnya, dan sekarang aku mengerti kenapa tadi ia tidak berkutik.

Dan aku tersadar akan satu hal lagi.

Well, selamat tinggal sepatu kesayanganku yang tidak tahan dengan air.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah gadis itu lagi—yang masih belum sadar juga akan kehadiranku, yang masih meronta-ronta, yang masih berteriak-teriak sendiri.

Beberapa orang menatap kami dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan, dan beruntung hanya ada sedikit orang di taman hari ini. Kalau banyak, entah mau ditaruh dimana mukaku nanti.

Aku berusaha mendekatdan meraihnya. Dan tanpa berkata apapun, aku meletakkan kedua tanganku tepat di punggung dan kakinya, lalu mengangkat—tidak. Lebih tepatnya, menggendongnya ala bridal, tapi hanya untuk lima detik .

Setelah itu, aku meletakkannya kembali dan membuatnya berdiri, masih di dalam kolam tentunya, dengan sebelah tangan yang mencengkram lengan bajuku.

Seketika, teriakannya hilang, seperti sebuah radio rusak yang tiba-tiba saja dimatikan. Kedua matanya melebar dan mulutnya ternganga, persis seperti ekspresiku tadi saat mengetahui bahwa kolam ini sama sekali tidak dalam.

Gadis itu melihatku dan kemudian wajahnya memerah karena malu. Akhirnya aku menuntunnya ke tepi, dimana Jeonghan sudah menunggu kami.

Saat sampai di tepi, wajah gadis itu masih terlihat syok dan juga pucat—mungkin karena ia benar-benar mengira bahwa ia akan tenggelam tadi. Aku mendudukannya di atas bangku.

“Ada yang terluka?”

Aku bertanya, dan gadis itu hanya terdiam—lalu ia menatap kakinya. Aku mengikuti arah pandangannya, dan benar saja. Ada luka goresan di sana, sedikit mengeluarkan darah.

“Tunggu sebentar, akan kuambilkan obat di rumahku,” kata Jeonghan sambil berlalu pergi sebelum aku sempat berkata apa-apa.

“Kenapa kau bisa tercebur tadi?” Aku tersenyum geli mengingat kejadian yang membuatku speechless total itu.

“Ter—Terpeleset,” jawabnya singkat. Kemudian ia mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arahku dan kemudian ia membungkuk.

“Aku minta maaf karena sudah merepotkan.”

Yah, memang benar merepotkan, namun aku hanya menggeleng sambil tersenyum. “Kau pikir kau benar-benar akan tenggelam?”

Aku berusaha keras agar tidak tertawa, dan gadis itu hanya diam sambil menggigit bibir. Kelihatannya salah tingkah. “Aku tidak tahu kalau kolamnya dangkal,” ujarnya sambil menutup wajah malu, lalu ia tertawa kecil.

Ah, benar. Jeonghan bilang kalau ia juga orang baru di sini, kan? Wajar saja kalau ia tidak tahu.

Well, aku juga baru tahu kalau kolamnya tidak dalam. Omong-omong, kau tinggal di sebelah mana?”

Gadis itu mengerutkan dahi menatapku. “Kau tahu dari mana aku tinggal di sekitar sini?”

“Aku sering melihatmu jalan-jalan di taman,” jawabku sambil mengangkat bahu.

“Ah, begitu.” Ia termanggut-manggut. “Iya. Kau juga?”

Aku balas mengangguk. “Tapi aku masih baru di sini.”

Gadis itu menatapku dan kemudian ia mendengus tertawa. “Pantas saja, kau juga tidak tahu kalau kolamnya pendek. Aku juga baru pindah ke sini sekitar enam atau tujuh minggu yang lalu.”

Gadis itu tersenyum manis, lalu melanjutkan, “Ah, omong-omong, soal pertanyaanmu tadi. Aku tinggal di blok tujuh, nomor empat belas.”

.

.

.

Apa?

Aku berusaha mengingat dengan benar blok dan nomor rumahku sendiri.

Rumahku terletak di gang ketujuh nomor lima belas. Dan seberapa banyaknya aku berusaha mengingat-ingat lagi, tetap saja tidak akan merubah kenyataan bahwa aku tinggal di gang tujuh nomor lima belas. Jadi, ia tinggal tepat di sebelahku?

“Kalau kau?” tanya gadis itu, membuyarkan lamunanku.

“Blok … tujuh nomor lima belas …,” jawabku pelan.

Gadis itu terdiam sesaat, dan beberapa detik kemudian kedua matanya melebar. “Ah, jadi kita tinggal bersebelahan? Kenapa selama ini aku tidak tahu, ya?”

Kalau itu, jujur aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya mengangguk dan tertawa, dan gadis itu juga ikut tertawa. “Kebetulan sekali,” ujarnya.

Aku hanya mengulum senyum mendengar satu kata itu.

Kebetulan.

Tiba-tiba saja, aku mengingat satu hal penting yang sama sekali belum kutanyakan padanya.

“Ah, aku lupa. Kita belum berkenalan. Siapa namamu?”

Sebelum aku bertanya, ternyata gadis itu sudah bertanya duluan.

“Mingyu. Kim Mingyu.” Aku tersenyum sambil mengulurkan tangan, yang langsung di balas olehnya.

“Himekawa Yui. Kau bisa memanggilku Yui.”

Himekawa Yui?

“Kau orang Jepang?”

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Senyuman yang sangat manis. “Aku pindah ke Korea karena ibuku dipindahtugaskan untuk bekerja di Seoul. Jadi, aku sendiri juga akan berkuliah di sini. Beruntung aku diterima di Seoul University.”

Sudah kuduga ia seumuran denganku.

Namun, tunggu dulu. Kenapa alasannya sama denganku? Dan … Seoul University?

Sama-sama orang pindahan baru, pindah karena alasan yang hampir sama, rumah tepat bersebelahan, dan akan berkuliah di satu tempat yang sama. Hebat sekali.

Sekali lagi, mungkin orang-orang akan menyebut semua ini adalah suatu kebetulan yang dahsyat, namun aku tidak akan percaya.

Tuhan telah mempertemukanku dengannya dan aku yakin ini bukanlah sebuah kebetulan. Aku hanya tersenyum menanggapi penjelasan gadis itu, dan aku kembali menatap matanya.

“Senang berkenalan denganmu, Yui.”

Well, mungkin hari ini aku merusak sepatu kesayanganku hanya untuk menyadarkan seorang gadis yang tingginya kira-kira lebih dari seratus enam puluh senti, yang mengira bahwa ia akan tenggelam di dalam kolam yang kedalamannya hanya mencapai satu meter lebih sedikit.

Tapi, siapa peduli? Pada akhirnya, aku dapat berkenalan dengan gadis Jepang yang senyuman cantiknya bisa membuat jantungku berdesir—yang biasanya hanya dapat kuperhatikan dari jauh.

“Aku juga, Mingyu.”

Ada yang bilang, untuk mencapai suatu hal, terkadang sesuatu memang harus di korbankan. Melihat sepatuku sekarang, kurasa pepatah itu memang ada benarnya.

Namun bagaimanapun juga, aku mempunyai firasat bahwa perkenalan ini adalah awal yang baik dari semuanya.

Untuk kelanjutannya, siapa yang tahu? Yang penting aku sudah menginjak garis start untuk memulainya, dan aku akan menyelesaikannya sampai akhir. Entah ini akan berakhir dengan baik atau tidak, aku tidak tahu–karena yang terpenting sekarang hanyalah menjalaninya.

.

.

.

Ah, aku baru saja teringat.

Jeonghan-hyung.

Mana dia? Kok tidak kembali-kembali, sih?

fin.
-oOo-

One thought on “The Story Begins

  1. Pingback: Bad Day? | ROSÉ BLANCHE

Leave Your Thoughts Here