Never Leave

neverleave

Never Leave

story by Rosé Blanche

Park Woojin [Wanna One] & A Girl [OC]

AU, Fantasy, Fluff, Friendship

G

Ficlet

.

I’ll protect you, I won’t go away.

.

Setiap individu di dunia ini pastinya memiliki keseharian masing-masing.

Di sebuah desa tak jauh dari kediamanku, aku mempelajari fakta di mana manusia punya rutinitas yang begitu beragam semenjak fajar menampakkan diri. Aku pun selalu tersenyum tiap kali menonton kegiatan mereka, entah mengapa. Padahal, aku tak punya lagi urusan apa pun dengan manusia.

Kuasa alam tak mengizinkanku. Katanya, memang sudah takdir bilamana manusia dan makhluk sepertiku tidak akan bisa bersatu.

Tetapi tak mengapa, aku toh sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Lagi pula, tiga ratus tahun hidup sendirian tak pernah menimbulkan masalah apa pun.

Otomatis, keseharianku pun jadi berbeda dengan mereka para makhluk berkaki dua.

Di saat mereka menatap keindahan suasana festival malam tahunan, aku akan menatap rembulan seorang diri.

Di saat mereka hendak mengistirahatkan diri dari letih akibat bekerja sepanjang hari, mataku akan tetap terbuka lebar dan mengawasi gulitanya petang di malam hari.

Di saat mereka menyantap hidangan masak, aku akan mengayun tungkai mengitari rimba, mengandalkan indra penciumku, kemudian tinggal menerkam saja dan selesai sudah.

Barangkali kehidupanku terlihat monoton dan sama sekali tidak menarik, tetapi aku bisa apa bila takdir telah menentukan demikian?

Sampai suatu saat, sebuah perjumpaan mengubah segalanya.

Malam itu merupakan sebuah malam eksekusi, di mana riuh gaduh konstan memenuhi rungu. Percikan bara pun mengangkasa, seolah melambangkan semangat berapi-api para warga.

Berdasarkan hasil mengupingku, lagi-lagi ada seorang wanita yang dituduh sebagai penyihir.

Kendati hanya memandang dari atas pohon yang begitu jauh dari keramaian, entah bagaimana seruan para warga masih bisa menyerbu gendang telingaku. Tapi tetap saja masih lebih baik demikian, sebab keributan yang sudah pasti amat sangat itu dapat sedikit tersamarkan oleh bunyi gemerisik pohon.

Sampai tahu-tahu saja, ada suara lain yang menginterupsi.

Awalnya aku tak yakin bunyi apakah itu, secara telingaku tak biasa mendengarnya. Namun setelah selang beberapa detik, aku baru tersadar.

Tubuhku kontan melesat turun, kemudian berlari mengelilingi area tersebut secepat kilat. Memasang indra sebaik mungkin, mencari-cari keberadaan pasti sang penghasil bahana.

Aku berlari masuk menelusuri bagian hutan yang agak dalam, dan di situlah sudut mataku menangkap sebuah pemandangan tak biasa. Rupanya, dugaanku semenjak awal memanglah benar.

Suara tersebut, rupanya merupakan tangisan seorang anak kecil.

Tubuhnya meringkuk di bawah sebuah pohon besar, begitu sesenggukan sampai bahunya naik turun.

Aku sempat sedikit bersyukur, malam itu rembulan tidaklah berbentuk bundar. Sebab di malam purnama—sekitar satu kali setiap bulan—aku tak akan dapat mengontrol diri dan benar-benar bersikap layaknya binatang. Aku akan jadi beringas, liar, ganas. Cakar dan taringku yang haus akan darah pun bakal tumbuh dengan sendirinya.

Kini, aku hanya dapat menatapnya dari kejauhan, tak kunjung menemukan apa yang harus kuperbuat. Segala kebingungan dan ambigu berputar dalam benakku, membuat yang namanya kepala ini sampai terasa sakit betul.

Haruskah aku menyelamatkan anak ini? Atau mungkin lebih baik jika aku meninggalkannya dan tak melawan aturan alam? Tetapi … bagaimana nanti kalau dia dimangsa beruang ganas?

Belum sempat aku menemukan jawabannya, tahu-tahu saja suara yang sama mulai berkumandang lagi. Namun bedanya, kali ini bukan isakanlah yang keluar, melainkan sebuah panggilan yang berbunyi jelas;

“Tuan?”

Serius. Aku sampai memaki diri sendiri dalam hati, sebab tanpa sengaja telah menampakkan wujud kepada anak manusia.

Kakiku mundur selangkah, tepat ketika gadis itu terhuyung—berjalan melintasi dedaunan kering ke arahku. Tubuhnya luar biasa gemetar, maniknya menyiratkan ketakutan.

Sebetulnya aku hendak kabur dan menganggap semua ini sama sekali tak pernah terjadi, namun mengapa justru hatiku berkata lain?

Sambil memasang wajah memelas, sosok mungil itu pun berkata, “Tuan, kumohon tolonglah aku ….”

Air matanya kembali mengalir, menghiasi pipi tembamnya dengan sungai-sungai kecil. Ia semakin beringsut mendekat, kemudian meraih tungkaiku dan kembali berujar lirih, “Kumohon, jangan tinggalkan aku sendirian …. Di sini … di sini menyeramkan ….”

Aku pun merendahkan tubuh, lantas berlutut di hadapannya. “Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini?”

Sedu sedannya masih belum berhenti, namun ia tetap berusaha bicara. “Aku … aku … melarikan diri ….”

“Melarikan diri dari …?”

“Dari … dari orang-orang kejam ….”

Orang-orang kejam?

Sembari mengguratkan senyum terpaksa (meskipun aku tak yakin hal ini akan membuatnya merasa lebih baik atau justru menjerit histeris), aku kembali bertanya, “Kenapa kau menyebut mereka kejam?”

“Karena … karena mereka mengikat ibuku di tiang dan hendak … hendak membakarnya hidup-hidup ….”

.

.

.

Dari sana, aku pun menyadari sesuatu.

Aku tak akan bisa meninggalkan anak ini, bagaimanapun hukum alam bersuara. Tentu aku tak mungkin mengembalikannya ke desa, secara orang sudah pasti akan mengeksekusinya juga karena dianggap sebagai putri dari seorang penyihir.

Di saat itulah—untuk kali pertama—perasaan tak tega membuncah begitu saja dari dalam diriku. Keadaan menyedihkan gadis ini sudah cukup untuk mendatangkan rasa iba, terlebih air matanya yang tak kunjung berhenti hingga membuatku tak sampai hati.

Di saat itu pula, aku bersumpah pada diriku sendiri.

Aku tak akan meninggalkan gadis ini, apa pun yang terjadi. Aku akan menjaganya, aku akan melindunginya dengan segenap kekuatanku.

Walaupun aku tak mengerti kenapa aku berbuat demikian—secara bahkan aku masih tak tahu bila gadis ini adalah manusia atau merupakan penyihir sungguhan—tetapi aku tak peduli. Aku akan mengikuti insting dan nuraniku, secara selama ini memanglah selalu seperti itu.

Karena yang namanya serigala tak akan mungkin hidup tanpa mengandalkan keawasan batin, bukan?

Tak peduli bila aku harus kerepotan setengah mati mengurus gadis yang umurnya masih sebiji jagung, tak peduli bila aku harus memberinya makan setiap hari dan memberikan kediaman yang layak, juga tak peduli bila aku harus mengasingkan diri ke tempat yang jauh tiap malam bulan purnama tiba …

“Woojin! Kau berhasil mendapatkan buruan? Bumbunya sudah siap!”

… karena aku, Park Woojin, toh telah membesarkannya menjadi seorang gadis jelita yang  berhasil mewarnai hidupku. Entah sampai kapan, biarlah waktu yang menentukan. Setidaknya dalam kurun tempo yang tersisa, biarlah juga aku terus melindungi gadis ini dengan setiap bagian dari diriku.

Tujuh belas tahun terlewat,  dan kini aku telah menemukan jawaban dari pertanyaan yang telah memenuhi benakku semenjak aku bersumpah dulu.

Aku melakukan semua ini, sebab aku pun mengerti betapa menakutkan berada di tengah hutan seorang diri tanpa adanya daya—tentu sebelum penyelidikan ilmiah tersebut gagal dan membuat diriku berakhir sebagai makhluk bernamakan Lycan.

fin.
-oOo-

Leave Your Thoughts Here