Always

always copy.jpg

Always

story by Rosé Blanche

casts Kwon Soonyoung [Seventeen] & Choi Yuna [GFriend]

genre Fluff, Hurt/Comfort, Myth

ratings T

length Oneshot

.

Love you once, love you still.
Always have, always will.

.

Kali pertama mereka bersitatap di tepi pantai, ia tak dapat mengalihkan pandang.

Soonyoung terpesona. Kulit cantik seputih mutiara, rambut panjang berwarna arang, dan bibir kecil merah merekah yang terpatri di wajah sang gadis benar-benar membuat Soonyoung mabuk kepayang.

Kesima yang ia rasakan begitu besar, kendati umurnya baru saja menginjak tujuh tahun kala itu.

Masih tujuh tahun demi dewa Neptunus!

Tapi kalau memang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama, Soonyoung bisa apa lagi? Karena bagi Soonyoung, jeratan dari tatapan mata gadis itu bahkan seakan lebih kuat dari jala ikan terbagus milik Paman Will.

Buktinya, dua belas tahun telah terlewat dan perasaan Soonyoung masih tetaplah sama.

“Kenapa cengar-cengir sendiri?”

Oh, tidak. Sang gadis mulai menunjukkan lengkung andalannya lagi.

“Kau sendiri terlihat senang sekali hari ini. Apa ada berita bagus?”

“Kalau aku memberitahumu, kau harus janji tidak akan menceritakannya pada siapa-siapa, terutama pamanku. Ya?”

“Tentu.”

Sembari memperbaiki posisi duduknya di atas batu karang, gadis itu menatap lurus ke depan, memandang ke arah matahari senja.

“Sebenarnya, kemarin malam aku tidak bisa tidur. Karena itu aku berjalan-jalan di sekitar sini—di tepi pantai—dan saat itulah aku bertemu dengannya.”

“Siapa?”

Yuna terkikik pelan, kemudian menatap Soonyoung berbinar. “Namanya Lucas, dia adalah siren.”

Siren?!”

“Percayalah, Soonyoung. Ia sangat tampan! Baru kali ini aku melihat pria dengan rupa sesempurna dirinya! Aku—”

“Tunggu, tunggu.” Soonyoung memang sempat panik, namun kesadaran yang baru saja menghampirinya sedikit mendatangkan lega. “Bukankah semua siren itu wanita?”

Yuna hanya mengerjap, pertanyaan Soonyoung pun menggantung. Sang lelaki menunggu jawaban seraya memanjatkan doa, semoga saja ia benar. Semoga saja ….

“Oh, awalnya aku juga bingung soal itu. Tapi, ternyata dia itu setengah siren dan setengah duyung.”

Well, pupuslah sudah harapan Soonyoung.

Yuna terus saja berceloteh tentang sepanjang malamnya bersama Lucas, hingga tahu-tahu saja Soonyoung memotong lagi, “Sebentar. Apa kau tidak ingat perkataan Paman Will?”

Benar sekali.

Sejak awal, Soonyoung sudah mengingat semua tuturan paman Yuna, lantaran pria itu selalu mengucapkan hal yang sama.

Apa pun yang terjadi, jangan pernah berhubungan dengan siren.

“Kalau aku tidak ingat, kenapa aku harus repot-repot memintamu untuk tutup mulut dari pria itu?”

Oh, pintar sekali, pikir Soonyoung.

“Lagipula, ini semua tidak masuk akal, secara aku juga tidak suka dengan keputusan Paman. Logikanya, aku sendiri adalah setengah siren. Lantas apa salahnya berhubungan dengan siren lain?”

Soonyoung pun bungkam.

Menurutnya, berasumsi seperti itu bukan hal yang tidak wajar meningat bahwa Yuna memang tidak tahu. Bukan berarti Yuna adalah gadis pemberontak kekanakan yang keras kepala, karena yang Yuna butuhkan hanyalah alasan.

Sayangnya, Yuna tidak tahu apa-apa dan Soonyoung sendiri merasa payah karena tak dapat bertutur kendati dirinya mengerti. Sebuah kenyataan pahit yang tersimpan, yang membuat Soonyoung frustasi lantaran takut semuanya akan berubah menjadi serba salah.

Kini, Soonyoung hanya bisa pasrah.

-oOo-

Berbekal sebuah keranjang berisikan beberapa potong ikan asap dan limun, Yuna mengayun tungkai meninggalkan dapur seiring dengan Soonyoung yang membuntut di belakang.

“Hei, apa aku tidak akan menjadi pengganggu?” Soonyoung berlari-lari kecil menyusul Yuna, menjajarkan posisi mereka. “Maksudku, nanti kan kalian ….”

Yuna menyembur tawa. “Kau memikirkan apa, huh? Ayolah, Soonyoung, aku hanya ingin memperkenalkan kalian. Dan berhentilah meracau. Sejak kapan aku menganggap sahabatku pengganggu?”

Entah pernyataan tersebut merupakan hiburan atau pisau yang menyayat hatinya, Soonyoung tak peduli.

Atau lebih tepatnya, ia sudah tak sempat peduli lagi, karena mendadak mereka berhadapan dengan sosok tinggi yang tahu-tahu saja sudah berdiri di ambang pagar.

“Kalian mau ke mana?”

Paman Will.

“Ah, Paman. Kami ….”

“Kami mau piknik di dekat pantai.”

Ya, piknik dengan seekor duyung setengah siren, batin Soonyoung menimpali.

“Sore-sore begini?”

Kerutan samar di kening William membuat Soonyoung berpendapat bahwa ini bukanlah pertanda baik. Raut penuh selidiknya berubah cemas, terlebih-lebih kepada Yuna. Namun tanpa disangka-sangka, tahu-tahu pria itu mengangguk. “Baiklah, kalau begitu selamat bersenang-senang.”

William berlalu, pandangan heran nan ragu Soonyoung pun mengikuti. Tetapi itu semua tidak berlangsung lama, karena setelahnya Yuna langsung menarik lengan Soonyoung melewati pagar pembatas kediaman Choi.

Mereka meninggalkan rumah nelayan itu, lantas menyeret tungkai ke arah pantai yang tak jauh letaknya. Baru saja sepuluh menit berjalan kaki, aroma laut sudah merasuki hidung. Suara debur ombak mulai terdengar, seakan memanggil mereka tuk kian mendekat.

Kini, laut biru pun memenuhi pandang. Soonyoung menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, menikmati hawa segar laut. Diliriknya Yuna yang mengukir senyum tipis sembari terfokus pada rembang.

“Ayo.”

Soonyoung mengira bahwa mereka akan duduk di batu karang besar dimana mereka biasa menghabiskan waktu berdua, namun Yuna mengambil langkah membelok. Menuju ke sebuah relung kecil, yang ternyata berujung pada sebuah teluk.

Kemudian mereka menyusuri sebuah jalan setapak terapit batu karang, hingga tiba pada sebuah tanjakan. Kepala Soonyoung menyembul lewat bebatuan, dan sebuah ekor biru keperakan pun menyapa.

“Lucas!”

Yuna seketika menghambur ke arah sang pria berekor dan mendudukkan diri di samping.

“Soonyoung, kemarilah!”

Secara singkat Yuna memperkenalkan mereka berdua, kemudian dilanjutkan oleh acara piknik yang diiringi obrolan-obrolan ringan dan canda tawa.

Sayang sekali, pelakunya hanyalah Yuna dan Lucas. Soonyoung tak masuk hitungan, karena sedari tadi ia hanya berdiam mengamati dan memakan ikan asap buatan Yuna.

Merasa tak enak berada di sana, Soonyoung pun beranjak.

“Mau ke mana?”

Sebuah senyum kikuk pun terpasang. “Pulang duluan. Aku baru ingat ada pekerjaan rumah yang belum selesai.”

“Serius?” Yuna mengangkat sebelah alisnya. “Tidak biasanya kau peduli?”

Soonyoung mengibaskan tangan. “Pokoknya aku harus pergi. Tidak apa-apa kan nanti kalau kau pulang sendiri?” Karena jawaban Yuna adalah sebuah anggukan, maka ia melanjutkan, “Baiklah, kalau begitu sampai nanti.”

Dengan tergesa Soonyoung turun dan menuju kembali ke teluk.

Saat tiba di persimpangan, mendadak sang bibir meloloskan sebuah kesiap. Matanya membola dan mengerjap beberapa kali, berusaha yakin kalau penglihatannya tidak bermasalah. Sekon berlalu seiring dengan datangnya kesadaran, Soonyoung pun melepas keterkejutannya kendati ingin mengumpat.

Empat lubang besar kini terpampang, membuatnya terpaksa memutar otak dan berusaha mengingat relung mana yang tadi ia lewati bersama Yuna.

Jawaban pun tak kunjung ia temukan. Soonyoung mendengus kasar, ia menyerah.

Masa bodoh, kalau misalnya salah pilih pun tinggal kembali saja ke titik dimana ia berdiri sekarang. Akhirnya Soonyoung memilih asal, memulai dari relung yang paling ujung.

Soonyoung mempercepat langkah, dari ayunan biasa berubah menjadi tungkai yang berlari-lari kecil. Ia sudah terlampau ingin cepat sampai ke kediamannya, secara suasana hati sedang tak bisa dikatakan baik.

Bukan berarti Soonyoung kecewa. Bukan berarti Soonyoung membenci gadis itu. Lagipula, mana bisa Soonyoung membencinya? Hanya saja, dadanya terasa sesak.

Langkah Soonyoung melambat tatkala kakinya kembali berpijak pada pantai. Ia berusaha menstabilkan napas, tepat ketika sebuah kesadaran mulai datang.

Oh, bukan tempat tadi.

Dengan enggan kaki Soonyoung memutar balik dan—

Mendadak pergerakannya terhenti.

Kalau tidak salah, sudut matanya baru saja menangkap sosok yang ia kenal. Mungkinkah ….

“Kwon Soonyoung?”

Soonyoung menoleh, dan sontak kedua matanya pun membola kendati ia sudah dapat menebak.

“Paman Will?”

“Dari mana saja kau? Sedari tadi aku mencarimu, dan kupikir kalian sedang berpiknik di— Sebentar. Mana Yuna?”

Napas Soonyoung tertahan. Bibirnya terbuka, namun jangankan suara, cicitan saja tak mampu keluar. Pikirannya kacau akibat terlampau panik. Soonyoung berusaha keras mengucapkan bualan menghayal, cukup sadar diri bahwa gelagatnya sekarang pastilah mencurigakan.

Namun, ia terlambat.

“Itu … Yuna-ku?”

Fokus pandang Soonyoung berpindah ke arah William menunjuk, dan ….

Ugh, kenapa harus kelihatan dari sini, sih?!

Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri yang salah mengambil jalan. Dilihatnya William yang berjalan tergesa memasuki relung, air mukanya  berubah merah padam.

“Pa—Paman, kurasa—”

“Diamlah.”

Bukan sebuah sentakan maupun makian, melainkan suara berat nan rendah yang semakin membuat Soonyoung dilanda panik habis-habisan.

Sampailah mereka di tempat Soonyoung berada semula. Soonyoung berusaha menarik tuk menahan, namun apa daya bila dirinya tak sebanding dengan tubuh kekar William?

Saat Soonyoung dan William hampir tiba, Lucas-lah yang pertama kali menyadari atensi mereka. Tanpa banyak bicara lagi, sang siren pun dengan gesitnya melakukan aksi terjun bebas ke laut. Membuat sang gadis yang ditinggal hanya bisa menganga menatap kepergiannya.

Namun rasa penasaran Yuna tak bersinggah terlalu lama.

Karena pada detik berikutnya, sosok yang menjulang berdiri di hadapan Yuna pun menjadi jawaban.

-oOo-

Bugh!

“Paman! Hentikan!”

Satu lagi pukulan berhasil mendarat di rahang Soonyoung.

Meski sudah sempoyongan dengan ujung bibir mengeluarkan darah, Soonyoung masih dapat melihat berang yang terpatri pada wajah pria itu. Amarah yang meletup-letup dan suara yang meninggi pun semakin melengkapi.

“Kenapa kau membiarkan keponakanku berduaan dengan monster itu?!”

“Monster?” desis Yuna pelan. “Lucas sama sekali bukan monster, Paman!”

“Oh, tutup mulut, Yuna,” erang William frustasi. “Dan kau! Kau jelas-jelas sudah tahu semuanya sehingga aku memercayakan Yuna sepenuhnya padamu. Tapi kenapa sekarang ….”

Suara William mulai serak, tercekat. Napasnya yang konstan mendadak terpacu. Tak dapat melanjutkan kata, akhirnya sebuah bogem mentah lagi yang menggantikan.

Bugh!

“Soonyoung!” Kepanikan Yuna semakin bertambah melihat sang kawan yang terkapar di lantai. Ia menghampiri pemuda itu, berusaha membantunya duduk.

“Jawab aku, kau dibayar berapa oleh monster itu sehingga bisa menyerahkan Yuna-ku padanya, huh?!”

“CUKUP!”

Sebuah jeritan tahu-tahu saja memenuhi ruang. “Kenapa Paman seperti ini?! Harus kubilang berapa kali sampai kau berhenti memukulinya?! Soonyoung tidak bersalah, aku sendirilah yang berinisiatif menemui siren itu! Lagipula, memangnya kenapa, huh?! Kau sendiri yang membuatku mati penasaran akan peraturan konyolmu—”

PLAK!

Suara nyaring itu lekas menguar, dengingnya menjalar memenuhi kesunyian yang tiba-tiba saja tercipta. Baik Soonyoung maupun Yuna membelalak, sedangkan William ….

“Ma—Maafkan aku ….”

Wajah pria berubah pucat, kilau bening pun mulai membungkus kedua maniknya.

Namun, Yuna-lah yang terlebih dulu mengeluarkan likuid itu. Begitu deras hingga membanjiri pipi tirusnya yang kini memerah sebelah. Langkahnya berbalik, berlari menuju pintu keluar dan membantingnya dengan sekali sentak.

Setelah itu, Yuna pergi.

Soonyoung kini menatap William dalam diam.

Tetes-tetes itu mulai berjatuhan, menandakan bahwa ia juga merasakan luka yang tak kalah pedih. Dengan sebuah gerakan pelan nan melankolis, ia menoleh ke arah Soonyoung.

“Kejarlah.”

“Apa?”

“Kejarlah Yuna. Kurasa memang sudah waktunya untuk ia tahu.”

-oOo-

Yuna sudah tidak tahan.

Ia terisak sesenggukan di atas sebuah batu karang tempatnya biasa menikmati angin laut bersama Soonyoung, menjadikan langit malam dan taburan bintang sebagai saksi bisu atas kesedihannya.

“Aku akan memberitahumu alasan Paman Will bertindak seperti ini, tetapi berjanjilah untuk tidak meneriakinya seperti tadi lagi. Itu akan sangat menyakiti hatinya.”

Tahu-tahu saja, pemuda sipit dengan wajah penuh luka sudah duduk di samping Yuna. Membuat sang gadis mengernyit, lantaran memar dan goresan bercampur darah yang telah mengering itu kelihatan sakit sekali.

“Wajahmu tampak mengerikan.”

“Aku tahu,” ujar Soonyoung terkekeh pelan. “Sekarang kembali ke topik awal, ya?”

Yuna mengangguk, sehingga Soonyoung melanjutkan, “Kau tahu kan kalau ayahmu manusia, sedangkan ibumu siren?” Sekali lagi Yuna termanggut-manggut. “Orang tuamu telah tiada sejak kau kecil, tapi sampai sekarang tidak ada yang pernah memberitahumu sebabnya, bukan?”

Lagi-lagi Yuna mengiakan.

Soonyoung menarik napas perlahan, bersiap untuk menguak sebuah realita kendati hatinya merasa tak enak. “Well, sesungguhnya siren adalah makhluk yang dianggap terkutuk menurut legenda. Mereka menyanyikan biduan dan menciptakan nada-nada indah demi memikat hati para pelaut. Secara perlahan, para pelaut itu akan terbuai olehnya. Mereka menjadi tidak sadar, kemudian kapal mereka akan menabrak karang. Di sanalah, para siren itu akan beraksi.”

“Beraksi?”

Siren-siren itu akan membawa mereka menuju ke dalam gulita dasar laut. Para pelaut itu adalah mangsa mereka, Yun.”

Yuna mengerjap, pikirannya yang larut berusaha mencerna apa yang baru saja merasuki rungu. “Tapi … itu hanya legenda, kan?”

Mendengarnya, pedih dalam Soonyoung semakin terasa. Demi apa pun itu, Soonyoung tidak tega. Ia tidak siap untuk mengatakannya, namun ia harus. Soonyoung menunduk dan memejamkan mata sesaaat, mengembuskan napas berat. “Aku juga berharapnya begitu.”

“Maksudmu?”

Soonyoung tak sanggup lagi menatap Yuna. Ia membiarkan hening mengambil alih sesaat, sebelum pada akhirnya ia mengaku, “Kenyataannya, ayahmu adalah korban dari ibumu sendiri.”

Sepasang manik Yuna membola, rasa syok mendadak tiba. Yuna menggeleng, kemudian berucap pelan, “Tidak mungkin ….”

“Itulah sebabnya Paman Will mengeluarkan larangan seperti itu, Yun. Meskipun kau setengah siren, ia sudah terlanjur menyayangimu secara kau adalah darah daging dari kakaknya. Itulah mengapa amukannya meledak ketika tadi melihatmu bersama-sama dengan Lucas yang juga merupakan siren.”

Mendengar nama itu spontan membuat dada Yuna terasa sakit.

Nama itu, nama dari sosok yang telah berhasil mencuri hatinya. Sosok yang membuatnya merasakan indahnya hidup selama beberapa waktu terakhir.

“Lucas … di—dia … adalah cinta pertamaku ….”

Kini Yuna terisak, napasnya menjadi tersendat-sendat. Air matanya kembali mengalir tanpa henti, namun Yuna membiarkan seolah tak peduli.

“Ya, aku tahu.” Nada Soonyoung yang lirih sudah cukup membuktikan kalau perasaannya juga tersakiti.

“Satu hal yang selalu kupertanyakan, kenapa aku harus terlahir seperti ini? Aku selalu berpikir, barangkali aku bisa menjalani masa kecil yang normal dan bahagia. Tetapi, bahkan untuk mendapatkan teman saja aku tidak mampu.”

Ah, benar.

Soonyoung teringat, bagaimana menyedihkannya masa kecil Yuna. Para ibu yang mengetahui jati diri Yuna selalu mengecap gadis itu sebagai anak terkutuk pembawa bencana, kemudian melarang anak-anak mereka untuk mendekat.

Selalu seperti itu.

Terkadang, Soonyoung merasa bersyukur bahwa ia tak punya siapa-siapa yang melarangnya mendekati gadis itu. Menjadi yatim piatu sejak kecil pun menjadi keuntungan dalam situasi ini.

“Rasanya sakit. Sakit sekali. Terlebih di saat aku mulai merasakan jatuh cinta, kenapa semuanya malah kacau? Apa bahkan untuk sekedar menyukai pria saja aku tak punya hak?”

Sebenarnya Yuna agak tak habis pikir. Realita yang selama ini ia cari pun telah terkuak, namun mengapa yang ia dapatkan kini justru rasa perih?

Hidup memang benar-benar rumit rupanya.

“Jangan menangis tertahan seperti itu. Menangislah sekeras mungkin jika kau memang mau, aku tidak akan protes.”

Isak tangis Yuna masih berlanjut, membuat Soonyoung ikut merasakan kesedihan yang sama dan mendekap sang gadis. Kendati Soonyoung tahu bahwa ia tidak bisa menggantikan Yuna merasakan sakit, setikaknya biarkan ia membantu Yuna melepas kesedihannya.

“Apa pun yang terjadi, ingatlah masih ada aku di sini. Mungkin kau merasa bahwa kelahiranmu tidak diinginkan di dunia ini, secara orang-orang menganggapmu sebagai keturunan monster. Mungkin kau tidak menyukai dirimu sendiri, mungkin juga kau merasa hidup ini tidak adil. Tetapi, ketahuilah bahwa di hadapanmu sekarang, ada seorang lelaki yang merasa sangat senang dan bersyukur karena bisa bertemu denganmu.”

“A—Apa?”

Soonyoung tersenyum, tepat ketika Yuna memberi sedikit sela di antara mereka dan menatap wajahnya lamat-lamat. “Di saat semua orang pergi dari sisimu, aku tidak akan ke mana-mana, Yuna. Aku berjanji.”

Yuna bungkam.

Soonyoung mengira gadis itu sudah berhenti menangis. Namun tanpa disangka-sangka, kedua ujung bibir gadis itu semakin tertarik ke bawah, kepalanya semakin menunduk, dan tangisannya semakin menjadi-jadi pula. Sesenggukannya begitu hebat, membuat Soonyoung mau tak mau harus merengkuh Yuna kembali sambil mengusap rambutnya pelan.

“Oh, astaga ….”

Soonyoung pura-pura mengerang. Tatapannya kini beralih pada laut yang berkilauan akibat cahaya bintang. Sambil menahan tawa, ia menarik napas dan menengadahkan kepala menuju rembang serta langit malam, kemudian berteriak sekencang mungkin.

“HEIIIII! SIAPA YANG BERANI-BERANINYA MEMBUAT YUNA-KU MENANGIS, HUH?!”

Sebuah sikut keras dari Yuna yang mengenai perutnya langsung membuat Soonyoung mengerti, bahwa jawaban dari pertanyaan Soonyoung barusan adalah dirinya sendiri. Terlepas dari itu semua, suara isakan Yuna telah bercampur dengan tawa terbahak hingga kedengarannya semakin aneh.

Tetapi, tak mengapa bagi Soonyoung.

Memang untuk sekarang, kepingan hati Yuna belum bisa pulih sepenuhnya. Patah hati akan cinta pertama memang menyakitkan, terlebih juga harus langsung melepas cintanya begitu saja. Butuh waktu dan niat ekstra, itu pun kalau Yuna benar-benar mau melupakannya.

Hanya saja, Soonyoung selalu percaya akan satu hal sejak dulu.

“Terima kasih karena selalu ada untukku, Soonyoung.”

.

.

.

Suatu saat nanti, yang dicinta akan kalah dengan yang selalu ada.

fin.
-oOo-


If you don’t mind, please kindly RCL (read, comment, like) here.
Thanks for reading!♥

rachel.

Leave Your Thoughts Here