Of Gentle-Hearted Man and the Warrior Princess

of-gentle-hearted-the-warrior-princess1

Of Gentle-Hearted Man and the Warrior Princess

cr poster by Thejibooty @ Poster Channel

story by Rosé Blanche

Min Yoongi [BTS] & Stefanie Han [OC]

AU!kingdom, Fluff, Slice of Life

G

Oneshot

.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah kau termasuk salah satu di antaranya?

.

Min Yoongi menghela napas kesal usai menutup pintu. Aroma khas rerumputan segar taman istana mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Ia mengedarkan pandang sejenak, kemudian tungkainya mengayun  lesu hendak menjauhi gedung area pelatihan para prajurit kerajaan Ecrethia.

Pikirannya kalut. Perasaannya kacau, juga tertekan. Yoongi mengerti ia tak bisa seperti ini terus, namun bagaimana cara mengatasinya ia tidak tahu.

Apa yang harus kulakukan?

“Min Yoongi!”

Tepat ketika sebelah kakinya berpijak menuruni sebuah anak tangga depan gedung, panggilan itu datang dan lekas membuatnya menoleh.

Seorang wanita yang selama ini ia hormati sedang bersandar pada pilar ujung seraya menyilang tangan di depan dada.

Wanita cinta pertamanya.

“Oh, Yang Mulia.”

Yoongi membungkuk ke arah wanita itu, walaupun pada akhirnya—

“Sudah berapa kali kubilang, berhentilah bersikap formal, Yoongi. Di sini hanya ada kau dan aku, tidak bisakah kaulihat?”

—ia kena omel lagi untuk yang kesekian kali.

Menanggapinya, Yoongi tersenyum geli. “Mau ada orang lain atau tidak, kau tetap saja orang terpandang kerajaan, Yang Mulia Stefanie.”

Namanya Stefanie Han, putri pertama dari Raja Gilbert Han, anak ketiga dari empat bersaudara.

Seseorang yang selalu Yoongi kagumi sejak dulu. Kendati cukup jauh dari gelar pemimpin kerajaan yang akan segera disandang oleh sang kakak, tidak membuatnya lantas menjadi tuan putri manja berlimpahkan harta yang hanya duduk di atas tahta sembari bersolek setiap hari.

Stef yang sejatinya merupakan teman sepermainan Yoongi sejak kecil karena tinggal di lingkungan yang sama, memulai pelatihannya sebagai seorang kesatria kerajaan sejak menginjak umur sepuluh tahun. Bukan keputusan raja maupun ratu, namun dirinya sendiri.

Tak heran bila kini seluruh prajurit kerajaan Ecrethia tunduk padanya.

“Kena semprot Jenderal Lee lagi?”

“Seperti yang bisa kaulihat dari betapa suramnya auraku sekarang.”

Stef tertawa sekilas, kemudian melangkah mendekat ke arah Yoongi. Wanita itu terduduk di anak tangga, lalu menepuk-nepuk tempat di sampingnya. “Duduklah. Mau mengobrol sebentar?”

Tentu Yoongi sama sekali tidak keberatan. Alasannya sederhana, ia rindu pula bertukar cakap dengan wanita itu.

Semenjak Stef benar-benar dipersiapkan untuk menjadi kesatria pemimpin, pertemuan mereka yang dulunya dilakukan hampir setiap hari berangsur-angsur menjadi jarang. Bahkan jika dapat bertegur sapa saja, Yoongi sudah bersyukur.

“Jadi, kali ini kenapa? Masalah yang sama seperti tempo hari?”

Yoongi mengangguk. “Lagi-lagi aku menjadi pengecut.”

Sang pemuda memejamkan mata, memutar kembali memori itu. Berulang kali ia berlatih hingga kurun waktu belasan tahun terlewat. Berulang kali juga ia mengikuti perang antar kerajaaan. Lantas, mengapa rasa takut itu masih ada?

Ini konyol sekali lantaran sebuah tebing menjadi tempat persembunyian seorang prajurit dengan catatan pelatihan seperti dirinya. Entah mengapa tungkainya spontan mengarah pada tempat itu dan bersembunyi sendirian, sementara kawan-kawannya berjuang mati-matian dalam medan perang.

Memalukan.

“Sebenarnya, aku sudah lama ingin bertanya padamu.” Stef menautkan jari-jarinya, kemudian melirik Yoongi. “Mengapa kau memilih masuk dalam pelatihan prajurit?”

Hening.

Yoongi berusaha berpikir terlebih dahulu daripada kata-kata yang salah mencelos begitu saja. Ia mencoba menemukan jawaban dan bahkan hendak berkilah. Tetapi, nyatanya tidak semudah itu.

Karena Yoongi memang tidak memahami dirinya sendiri.

“Apa mungkin kau terpaksa?”

“Terpaksa?” Kerutan di dahinya muncul seiring dengan gelengan kepala. “Kurasa tidak.”

“Lalu? Apa karena mendiang ayahmu adalah seorang jenderal? Sehingga kau berusaha mengikuti jejaknya, begitu?”

Yoongi masih belum dapat menjawab, namun ia rasa apa yang baru saja terucap oleh Stef ada benarnya. Ia hampir saja memberi sebuah anggukan kembali, ketika tiba-tiba saja sebuah ingatan meluncur.

Ia tersadar. Ah, benar juga.

Mungkin apa yang dikata Stef juga termasuk fakta, namun bagaimana dengan realita bahwa Yoongi mulai masuk ke dalam pelatihan prajurit setelah tak sengaja mendapati Stef sedang berlatih pedang sendirian di halaman istana?

“Sepertinya begitu. Tetapi, kurasa bukan ayahku saja yang menjadi alasan.” Dialihkannya fokus pandang pada wanita itu, hingga mereka bersitatap. “Dirimu juga.”

“Aku?”

“Ya,” aku Yoongi. “Ingin membanggakan ayahku merupakan satu hal. Namun, bohong kalau aku berkata bahwa aku tidak memilih jalan ini usai mengetahui kau masuk ke pelatihan. Jujur, aku sangat mengagumimu.” Yoongi terkekeh sekilas. “Alasan yang konyol, bukan?”

Kedua manik Stef melebar, sebelum sebuah tawa kecil lolos dari mulutnya. “Itu alasan terkonyol yang pernah kudengar.”

Ya, persis sekali seperti dugaan Yoongi.

Sebuah helaan napas keluar diikuti dengan tubuh Stef yang kini menghadap sepenuhnya pada pemuda itu. Raut wajahnya berubah serius, kemudian ia berdeham. “Dengarkan aku baik-baik, Yoongi.”

Yoongi mengangguk singkat.

“Coba sekarang posisikan dirimu pada seseorang yang benar-benar ingin menjadi seorang prajurit kerajaan, bukan karena adanya dorongan apa pun.” Stef memberi jeda sejenak guna membiarkan pemuda itu berpikir. “Kira-kira, apa alasan yang mendasari kemauan orang itu?”

Yoongi mengarahkan bola matanya ke sekeliling, meskipun ia tahu ia tak akan mendapat jawaban apa pun dari sana. Beruntung, tiba-tiba saja pikirannya terpaut pada seorang pria, yang tak lain lagi adalah sang ayah.

Sang ayah yang selalu mengutamakan kepentingan pasukannya. Sang ayah yang selalu menghormati keputusan raja serta atasannya yang lain. Sang ayah yang gugur dalam perang terbesar di sepanjang sejarah kerajaan Ecrethia.

“Mengabdi sepenuhnya pada Ecrethia.” Intonasinya terdengar jelas dan yakin, membuat sang lawan bicara tersenyum.

“Tepat,” sahut Stef cepat. “Mengabdi sepenuhnya, memberikan jiwa raga mereka secara keseluruhan pada kerajaan. Orang seperti itulah yang pantas masuk ke dalam pasukan, Yoongi.”

Yoongi menunduk. Ia ambil tarikan napas dalam. Sebuah jawaban pasti tak dapat ia berikan, karena ia sudah terlampau malu akan dirinya sendiri.

“Tentu aku juga ingin membela kerajaan, secara di sinilah tempatku tumbuh besar. Tetapi, aku juga mempunyai masalah pada diriku sendiri yang sampai sekarang belum bisa kulawan.”

“Apa itu?”

“Rasa takut.”

Sunyi kembali datang. Beberapa kali Stef mengerjap, berusaha memahami maksud perkataan Yoongi, namun sayangnya gagal.

“Takut? Takut apa?”

“Saat perang, ada kalanya aku benar-benar ketakutan terlebih lagi jika tanda-tanda kekalahan sudah dekat—well, meskipun nyatanya sejauh ini pasukan Ecrethia selalu menang—dan yang membuatku paling frustasi adalah ketika aku sudah mulai menghindar lalu … bersembunyi sendiri.” Suara Yoongi memelan. “Bagiku ….”

Entah semenjak kapan Yoongi menjadi seperti ini. Dirinya yang seringkali diliputi ketakutan tak terbendung, membuatnya berpikir barangkali ia tak layak disebut sebagai putra dari jenderal seperti ayahnya. Ia tahu, bukan pemuda dengan nyali sebesar biji jagung yang ayahnya inginkan.

“… merasakan tebasan pedang, pertumpahan darah, serta jeritan dan teriakan manusia yang kesakitan ….” Lidah Yoongi terasa kelu, rasanya sulit sekali untuk menuturkannya. “… itu semua sama sekali bukan tipikalku. Aku takut.”

“A—Apa?”

“Kupikir, alih-alih keberanian yang dimiliki ayahku … sepertinya sifat ibuku yang lemah lembut lebih mendominasi.”

Yoongi menunduk, tak berani menatap Stef kembali. Merasa baru saja menjatuhkan harga dirinya sendiri, mengatakan hal barusan rasanya serupa dengan melakukan dosa. Ia mengepalkan tangan, cukup frustasi apakah ia harus menyesali perbuatannya barusan.

Bisa-bisa ia tak punya muka lagi bila harus berhadapan dengan wanita pujaannya ini.

“Yoongi?”

Sang pemilik nama masih bergeming, dan tetap bungkam menjadi sebuah keputusan.

“Yoongi, lihatlah aku.”

Kali ini Yoongi menurut kendati rasanya sudah tak sanggup. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Stef yang membuatnya merasa lebih tenang, entah apa itu.

“Aku tidak pernah memaksamu untuk berkomitmen sebagai seorang prajurit setia Ecrethia. Aku juga tidak menuntutmu untuk mempunyai prinsip keprajuritan seperti itu. Setiap orang diciptakan untuk tujuan yang berbeda, Yoongi. Tapi kalau kau masih punya keinginan menjadi orang yang berjasa besar bagi kerajaan, setidaknya tanamkanlah niat.”

“Niat?”

“Ya,” tutur Stef. “Segala sesuatunya harus dilakukan dengan adanya niat. Kau tidak bisa hidup dengan hanya mengandalkan keinginan, Yoongi. Jika usahamu saja tidak maksimal, bagaimana kau bisa mengharapkan hasil yang lebih?”

Jujur saja, sejauh ini perkataan Stef itulah yang paling menohok hatinya. Ketimbang memakai kata ‘usaha’ dan ‘hasil’, mungkin Yoongi menganggapnya lebih seperti ‘jika tak berjuang mati-matian sebagai seorang prajurit dan membuang jauh-jauh rasa takutnya demi melindungi penduduk, bagaimana ia dapat mengharapkan kedamaian dalam kerajaan’?

Kelopak Yoongi terpejam seiring dengan wajahnya yang berangsur murung. Ia sudah dapat menerka apa ucapan Stef selanjutnya.

“Seperti halnya soal tadi. Aku tidak butuh mereka yang setengah hati ataupun yang hanya mengejar kehormatan dalam pasukanku. Aku memerlukan orang yang dengan sepenuhnya berjuang untuk kerajaan mereka, bahkan sampai titik darah penghabisan sekalipun. Juga, seseorang yang rela berkorban tanpa mengharapkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah kau termasuk salah satu di antaranya?”

“Yang Mulia, aku—”

“Ingatlah baik-baik,” potong Stef. “Satu lagi prinsipku adalah ya atau tidak sama sekali. Apakah kau masih ingin berada di dalam pasukanku atau tidak, kau sendiri yang menentukan.”

Antara ingin menitikkan air mata atau tidak, katakanlah likuid bening itu sudah hampir berada di ujung, namun tak segera keluar dari kelopaknya lantaran Yoongi menahan mati-matian. Tidak lucu bila ia menangis saat ini, seolah dirinya adalah anak kecil yang baru saja berbuat salah meskipun penyebabnya hanyalah rasa haru.

“Kalau boleh jujur, aku akan lebih senang jika kau dapat mempertahankan posisimu sekarang. Tetapi, bagaimanapun juga semua itu adalah keputusanmu.”

Yoongi tak dapat mengelak jika kesadaran kini telah datang menghampirinya seiring dengan perasaan lega membuncah. Entah mengapa beban yang selama ini menekannya seakan kandas begitu saja, menyisakan hati yang kini telah memiliki keteguhan.

Sebuah pendirian yang baru saja dibangunnya, dan ia sangat berterima kasih pada Stef untuk itu. Setidaknya dengan pendirian ini, mulai sekarang kelahirannya di muka bumi tidak menjadi sesuatu yang sia-sia.

Yoongi sudah membulatkan tekad. Ia hanya bisa berharap, bahwa nantinya ia tidak akan menyesal.

“Aku sudah memutuskannya, Yang Mulia.”

-oOo-

satu tahun kemudian …

Stef tak pernah mengerti, mengapa perdamaian antar kerajaan begitu sulit dijalin. Memang tidak berlaku untuk semua, namun perperangan yang telah dihadapinya selama beberapa hari terakhir ini menjadi bukti nyata pula.

Dengan langkah tertatih akibat luka pada betis yang belum sepenuhnya pulih, Stef menyeret kakinya. Ia baru saja tiba di perkemahan. Gulungan kertas tanda perjanjian antar kerajaan ia genggam erat-erat, perasaannya terlampau senang.

Kendati sulit, bukan berarti kata ‘damai’ adalah sesuatu yang mustahil, bukan?

Beberapa prajurit yang lain kini telah bersuka, sebagian di antaranya ada yang berpelukan diiringi dengan sorak-sorai. Ada pula yang kalang kabut saking gembiranya dan memberitakan kabar bahagia ini ke seluruh penjuru perkemahan.

Alih-alih kembali ke tenda peristirahatannya, Stef membelok ke sebuah tenda putih besar yang terletak tepat di samping tenda pusat.

Disingkapnya kain putih yang menjuntai, dan didapatinya keadaan tenda yang penuh namun tak terlalu ramai tersebut. Hanya ada suara percikan air, samar-samar denting wadah logam dan erangan beberapa orang yang kesakitan. Bau obat-obatan pun seketika tercium.

Stef melihat sekeliling, mencari seorang pemuda yang telah menetap di tenda tersebut selama beberapa hari terakhir. Tak perlu waktu lama untuknya menemukan kilau rambut berwarna cokelat mencolok itu.

Sebuah senyum lebar tanpa sadar ia sunggingkan, dan segera mendekatlah dirinya.

Sang pemuda sendiri masih tak menyadari kehadiran sang tuan putri, lebih tepatnya sibuk berkutat dengan buku bersampul kulit yang sedang ia baca.

“Ayolah, Yoongi. Rupamu nanti tidak tampan lagi jika kau membiarkan kantung mata itu bertambah hitam setiap harinya.”

Min Yoongi berpaling, dan didapatinya seorang kesatria kerajaan sedang berusaha duduk dengan susah payah. Mengingat luka cukup dalam yang diperoleh wanita itu beberapa hari silam, Yoongi lekas berdiri dan membantunya agar tidak terjatuh.

“Lebih baik kantung mataku yang bertambah daripada jumlah prajurit yang gugur semakin meningkat. Tidak lucu sekali bila orang-orang tahu kalau penyebabnya adalah salah penanganan obat.”

Dibuatnya Stef terkekeh, kemudian ikut menilik buku catatan yang telah Yoongi tulis selama setahun terakhir. Sebuah catatan tentang berbagai penyakit, macam penanganan dan beberapa jenis ramuan obat.

Stef memandang sang pemuda dan bukunya secara bergantian, kemudian berkata, “Sebelumnya, maafkan aku. Bukannya berharap atau apa, tetapi apa kau tidak menyesal mengundurkan diri dari pasukan kerajaan?”

Yoongi memilih menutup bukunya sejemang. Sang putri sedang mengajaknya bercakap saat ini, dan akan sangat tidak sopan bila ia terus-terusan menyibukkan diri dengan belajar.

“Tidak sama sekali,” jawab pemuda itu lancar tanpa jeda. “Meskipun sebenarnya aku sedikit merindukan pelatihan, tapi aku selalu merasa bahwa menjadi peramu obat sekaligus perawat merupakan sesuatu yang menjadi bagianku. Awalnya memang meragukan, namun hanya dalam kurun waktu seminggu aku seakan bisa mengatakan bahwa di sinilah tempatku berada. Di sinilah, aku mendapat semangat entah dari mana yang mendorongku untuk bekerja dengan segenap hati.”

Stef mendengarkan tuturan itu dengan tertarik, kemudian berkomentar, “Setidaknya ketika kami menjadi pahlawan bagi penduduk, kaulah yang menjadi pahlawan kami.” Wanita itu sedikit menelengkan kepalanya, lalu melanjutkan, “Jadi bila dilogika, kalian pun berjasa bagi rakyat. Melebihi kami malah.”

Sebuah tawa terpaksa lolos dari bibir Yoongi. Binar dalam matanya pun tak dapat ia sembunyikan. “Terima kasih, Yang Mulia. Untuk semuanya. Terutama karena telah membawaku sampai ke titik ini.”

Stef hanya mengiakan, lalu mereka kembali pada keheningan lagi.

Yoongi juga terdiam, hingga tahu-tahu saja ia menyahut, “Omong-omong, apakah kau ada waktu luang sore ini?”

“Sore ini? Tentu saja ada, secara perang sudah selesai. Memangnya kenapa?”

“Apa kau keberatan bila aku mengajakmu ke suatu tempat?”

Sebuah gelengan pun menjadi jawaban, membuat senyum Yoongi kian merekah.

“Kalau begitu, aku akan menjemputmu nanti, Yang Mulia.”

-oOo-

“Kau masih membawa pedang kemana-mana walaupun kau sudah menjadi perawat?”

Yoongi berpaling pada wanita yang sedang ia genggam tangannya. Ia sedang menuntun sang tuan putri, membantunya berjalan dengan tanah lembab hutan yang licin dan dedaunan kering sebagai pijakan.

“Sesekali saja untuk berjaga-jaga. Lagipula, aku tidak mau belasan tahun masa pelatihanku terbuang sia-sia.”

Stef hanya merespon dengan suara ‘oh’ pelan, sebelum mengganti pertanyaannya. “Apa tempat yang kaumaksud masih jauh? Kakiku sudah—”

“Tidak juga, kita sudah sampai.”

Tangan Yoongi terulur untuk menarik Stef melewati satu pijakan tanah yang lebih tinggi, kemudian membiarkan wanita itu menatap sekeliling. Seulas senyum geli pun tak dapat ia sembunyikan ketika pandangan takjub bertubi-tubi itu terpampang dari raut wajah Stef.

“Dari mana kau tahu tempat ini?”

Stef terkesima. Sebuah lantai marmer melapisi ditemani oleh beberapa pilar yang masih berdiri sebagian kendati retakan itu jelas mendominasi. Tanaman rambat dan sedikit lumut yang menjalar di setiap sudut pun tak kalah memberikan kesan bahwa tempat tak beratap itu sudah lama tak dihuni manusia. Meski demikian, Stef menyukainya.

“Ketika aku masih kecil, ayahku sering mengajakku ke sini. Ia berkata, pada mulanya tempat ini adalah sebuah paviliun istana. Dulunya wilayah ini merupakan sebuah kerajaan, tapi runtuh sekitar lebih dari seabad yang lalu karena diserang.”

“Ah, apa keluargamu dulu adalah warga kerajaan ini?”

Yoongi menggeleng lekas. “Sebenarnya bukan warga. Nenek moyangku adalah ratunya.”

Stef termanggut-manggut tanda mengerti, sebelum wanita itu akhirnya menyadari satu hal. Kedua matanya lantas membola, lantas berseru, “Berarti sebenarnya … k—kau itu ….”

“Pangeran? Bisa dibilang begitu, namun aku tak terlalu peduli.”

Mendengar itu spontan membuat Stef mengerjap dan mengangguk-angguk kecil kembali, sebelum ia mendudukkan diri di salah satu dari lima anak tangga yang menuju pusat paviliun.

Tanpa disangka-sangka, Yoongi mengeluarkan pedangnya sehingga menimbulkan bunyi desing yang lantas membuat Stef spontan menoleh.

“Ada apa, Yoongi?” Alih-alih penasaran dengan apa yang terjadi, Stef malah terfokus pada bentuk pedang yang digenggam Yoongi. Satu hal, ia mengenal pedang dengan batu permata di pangkal bilahnya itu.

“Tunggu dulu, pedang ini ….” Terjadi jeda beberapa saat setelah Stef menggantungkan ucapannya, membuat Yoongi penasaran.

“Kenapa?”

“… bukankah ini milik Jenderal Min?”

Sepertinya keterkejutan Stef menular, sampai-sampai pemuda itu ikut membolakan matanya. “Kau mengetahuinya?”

“Beberapa kali sempat Jenderal Min sempat menunjukkannya padaku, tapi sepertinya ayahmu jarang menggunakan pedang ini, eh?”

Yoongi melihat pedang itu sekilas, kemudian kembali bersitatap dengan Stef. “Memang benar, tapi sekarang sudah diwariskan padaku . Dulu ibuku menghadiahkan ini ketika ia diangkat menjadi jenderal tertinggi. Sepertinya ia benar-benar menyayangi benda ini, secara pedangnya sendiri ditempa oleh para ahli dan kualitasnya pun sangat baik. Sampai-sampai bukannya digunakan untuk kebutuhan seorang prajurit, tetapi malah disimpan.”

Stef mau tak mau tertawa juga, namun segera pudar ketika Yoongi berlutut di hadapannya.

Ya, berlutut.

Berlutut sembari menggenggam gagang pedangnya erat-erat dengan kedua tangan dan membiarkan ujung bilah itu menyentuh lantai. Kepalanya benar-benar tertunduk, menyatakan rasa hormat yang amat sangat.

“Yoongi, kenapa kau ….”

“Yang Mulia,” kata Yoongi pelan, namun tegas. “Aku ingin mengatakan sesuatu. Mungkin tidak sepatutnya aku mengucapkan hal ini, mengingat kasta kita yang bisa dikatakan tidak sama. Tetapi kalau kau berkenan, bolehkah aku melanjutkan?”

Stef cukup pangling dan melebarkan kedua maniknya akibat terheran-heran. Tak ingin diliputi rasa kuriositasnya lebih lama, Stef menyahut, “Tentu, katakanlah.”

Sebuah deham kecil mengawali kata-kata Yoongi yang telah dipersiapkannya matang-matang. Kini, tibalah sudah saatnya.

“Aku tidak tahu semua ini bermula dari kapan. Entah bagaimana aku bisa bertemu denganmu, kemudian menjalani kehidupan di istana bersama meskipun dengan status berbeda. Namun, aku tidak pernah menyesal. Adanya kenangan manis yang terukir membuatku terkadang agak lupa diri, namun di sisi lain aku selalu bahagia saat bersamamu. Mengenalmu pun adalah sebuah anugerah terindah, dan aku benar-benar bersyukur untuk itu.”

Sebuah senyum terulas pada bibir Yoongi seiring dengan terpananya Stef akan kata-kata yang terlontar.

“Yoongi, kau ….”

“Aku berniatan untuk mempersembahkan pedang ini untukmu, sebagai tanda bahwa kau adalah wanita nomor satu bagiku. Dan dengan segala hormat … aku mencintaimu, Yang Mulia.”

Stef mengerjap, berusaha mencerna setiap kata-kata Yoongi barusan. Berusaha meyakinkan diri sendiri bila telinganya tidak salah dengar. Bahkan, ia hampir saja tidak yakin bila dirinya sedang berada dalam alam mimpi atau bukan.

“Waktu itu kau pernah mengatakan, kita harus melakukan apa pun dengan sepenuh hati, bukankah begitu?”

Stef mengangguk pelan, sembari otaknya memutar kembali kejadian setahun yang lalu.

“Jikalau begitu ….” Yoongi sedikit menggantungkan ucapannya, kemudian kembali menunduk pada Stef. “… dapatkah aku menaruh kepercayaan dan memberikan hatiku sepenuhnya pada Yang Mulia?”

Napas Yoongi tertahan. Kendati ia sama sekali tak bermaksud untuk meminta adanya balas-membalas perasaan namun hanya sekedar mengungkapkan, tak dapat dipungkiri bahwa ia gugup setengah mati. Ia tersadar, meminta lebih dari sekedar diizinkan mencintai itu berlebihan, dan ia tak pantas.

“Tergantung.”

Yoongi lantas mengangkat kepalanya perlahan, mendongak dan bersitatap dengan Stef pada jarak yang dapat dikatakan cukup dekat.

“Tergantung?”

“Ya, tergantung dari jawabanmu atas pertanyaanku.”

Yoongi menelengkan kepalanya sedikit dengan raut kebingungan, dan entah mengapa Stef gemas sendiri dibuatnya.

“Apabila aku bertanya padamu, bersediakah kau menjadi belahan jiwa serta pendamping hidupku sehidup semati, apa kau akan menerimanya?”

Sedikit demi sedikit irama detak jantung Yoongi bertambah cepat, kendati ia masih belum tahu pasti apa maksud tersembunyi di balik ucapan Stef. Namun, ia memilih untuk mengikuti kata hati nuraninya.

Sebuah anggukan pun ia berikan.

“Itu akan menjadi sebuah kehormatan untukku, Yang Mulia.”

Bersamaan dengan meluncurnya kata-kata itu dari mulut Yoongi, pemuda itu merasakan kedua punggung tangannya tergenggam erat.

“Kalau begitu, kau pasti sudah tahu jawabanku.”

Di tengah paviliun indah itu, di sebuah titik bermandikan cahaya senja, Yoongi mendapati sebuah bukti nyata. Ternyata memang semua yang dilakukan dengan segenap hati dan usaha penuh, pada akhirnya akan membuahkan sebuah hasil.

Seperti yang baru saja Yoongi alami hari ini, hari yang akan ia catat sebagai salah satu hari terindahnya dalam hidup.

fin.
-oOo-

.

.

.

“Don’t do anything by half. If you love someone, love them with all your soul. When you go to work, work your ass off. When you hate someone, hate them until it hurts.”
-Henry Rollins-

 

2 thoughts on “Of Gentle-Hearted Man and the Warrior Princess

  1. Chel, tau gak, pas baca genre-nya ada “Kingdom”, aku langsung “Wuih kerajaan nih, kesukaan aing!” //lalu ditendang// Iya serius, aku suka baca-baca genre castle dan masih perlu banyak belajar juga kalau mau bikin ff kayak gitu xD Tapi entah kenapa, secara ini kan bukan jaman kerajaan Korea yg pake Hanbok ya, makanya aku bayangin istana & paviliunnya ala-ala film Narnia :’) //maaf imajinasiku melenceng//

    Dan aku juga gemes sama Yoongi di sini. Ugh, Stef pemberani juga ya,gk sungkan bilang kalau dia juga suka sama Agus :’) Alurnya ngalir dan amanatnya nyampe ❤ Rachel gitu deh, suka kasih kesan & pesan di setiap ff-nya. Gak kayak aku yg bisa tuntasin 10 chapter aja udah sujud syukur, tanpa mikir apakah ada amanatnya atau enggak 😀 /plak

    Aku suka deh pembawaan Rachel tentang Stef seolah "Dia itu bener-bener Puteri" :))))) Nice fic as always ❤ ❤ ❤ Keep writting ya ^^ //ketcup dari istri Hoshi & Josh//

    Liked by 1 person

    • Suka yg temanya kingdom-kingdom gitu? Aing juga aw:3 /plz hentikan chel
      Iyapp, dan memang di sini aku sedikit terinspirasi dari Narnia, jadi bisa dibilang kalo imajinasi kamu sama sekali ga melenceng, pas banget malahan xD

      Sebenernya, awal mula bikin ff ini itu dari quote yang paling bawah ituu, dan alhasil kayak gitu jadinya:”) makasih banyak Ji, soalnya secara ak juga suka genre slice of life, jadi ya … gitu hehe cuman ga semua kok ada pesan amanatnya, banyak juga yang receh dan tak berfaedah:””))

      Thanks for reading ya Ji!^^ /ketcup balik Hoshi sama om Josh /lalu digampar Ji

      Like

Leave Your Thoughts Here